Wednesday, May 27, 2015

KUMPULAN CERAMAH

Ahmad Jalaluddin Rabbany     5:49 PM    

KUMPULAN CERAMAH TENTANG RUKUN IMAN
1.Iman kepada ALLAH SWT
Dalil Iman Kepada Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا * سورة النساء 136
Artinya : Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.
 وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ * سورة البقرة 163
Artinya : Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ * سورة البقرة 255
Artinya : Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22) هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23) هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (24) * سورة الحشر
Artinya : Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana.

Arti Iman Kepada Allah
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Iman kepada Allah itu meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :
أشهد أن لاإله إلا الله
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT sejak ia berada di alam arwah.  Firman Allah SWT :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ * سورة الأعراف 172
Artinya : Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.
Sebelum Islam datang, orang jahiliyah sudah mengenal Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah itu dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ * سورة الزخرف 9
Artinya : Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi untuk berputar.


Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
عن ابن عباس أن قوما تفكروا فى الله عزوجل وقال النبي صلى الله عليه وسلم تفكروا فى خلق الله ولا تفكروا فى ذات الله (رواه ابو الشيخ)
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
 Cara Beriman Kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a.       Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.

Beriman kepada malaikat
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Beriman kepada Malaikat merupakan rukun Iman kedua. Orang yang tidak beriman kepada Malaikat, maka orang tersebut tidak bisa disebut sebagai mu’min; atau bahkan ia terhukumi sebagai orang yang kaafir. Kaafir kepada Allooh سبحانه وتعالى dan kaafir kepada ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ketika kita mengatakan beriman kepada Malaikat, maka hendaknya kita tahu apa yang harus tercakup dalam kata “Iman” tersebut. Pembahasan tentang Malaikat sebenarnya cukup luas, namun karena keterbatasan waktu maka hanya akan dibahas topik-topik yang termasuk penting untuk diketahui. Terutama untuk menetralisir, mengklarifikasi dan meluruskan beberapa pemahaman yang salah selama ini, berkenaan dengan Beriman kepada Malaikat.
Secara bahasa, kata “Malaikat” menurut para ahli Tauhid adalah berasal dari dua suku kata. Ada yang mengatakan berasal dari kalimat Lam – Alif (Hamzah) – Kaf, sehingga dibaca La-a-Ka.
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa “Malaikat” berasal dari bahasa Arab dan berasal dari kataAlaka, menjadi: Ma’lak. Kalau La-a-Ka menjadi Mal-Aka.
Tetapi dua-duanya maknanya sama, yaitu bermakna Ar Risaalah. Dalam bahasa Indonesia, bermakna: Surat, Misi. Dalam bahasa Inggris, bermakna: The Message (artinya: Risaalah).
Para ‘Ulama lalu menanyakan, mengapa Malaikat bermakna Risaalah? Ternyata memang Malaikat itu merupakan utusan Allooh سبحانه وتعالى. Jadi Malaikat maknanya adalah Para Utusan Allooh سبحانه وتعالى.
Harap jangan dipahami bahwa ketika kita katakan “Para Utusan Allooh سبحانه وتعالى”, lalu yang teringat hanyalah Jibril saja. Karena sesungguhnya para Utusan Allooh سبحانه وتعالى itu banyak dan dalam banyak perkara, misalnya urusan mati, lahir, rizqi, dllnya yang merupakan kepentingan manusia. Dan Allooh سبحانه وتعالى dengan kasih sayangnya selalu mengutus Malaikat kepada kita, manusia.
Demikian itu adalah secara bahasa. Tetapi secara istilah, yang disebut “Malaikat” adalah jamak dari kata “Malak”. Maka kalau disebut Malaikat itu sudah merupakan kata bentuk jamak, artinya banyak Malak.
Tetapi kita sering rancu dalam menggunakan bahasa, dengan menyebutkannya sebagai “Para Malaikat”, bahkan ada pula yang menyebutkannya dengan “Para Malaikat-Malaikat”. Hal tersebut keliru. Karena Malaikat itu artinya adalah Banyak Malak.
Intinya, Malaikat adalah para Utusan Allooh سبحانه وتعالى untuk keperluan makhluk-Nya diatas alam jagad raya ini.
Para ‘Ulama ‘Aqidah mendefinisikannya dengan lebih komprehensif, lebih sempurna, mencakup berbagai sisi yang harus kita yakini (dalam hal Malaikat), yaitu bahwa Malaikat adalah makhluk Allooh سبحانه وتعالى, sebagaimana makhluk-makhluk yang lain, diciptakan oleh Allooh سبحانه وتعالى dari cahaya (nuur), dimana mereka senantiasa taat dan tidak pernah berma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Diantara Malaikat tersebut ada yang diketahui namanya, sedangkan bilangan (jumlah) mereka itu hanya Allooh سبحانه وتعالى yang tahu. Malaikat tersebut dibagi dalam berbagai peran dan tugas.
Bentuk Malaikat adalah besar dan mempunyai sayap. Diantaranya ada yang mempunyai dua sayap, tiga, empat dan ada pula yang mempunyai sayap lebih dari itu. Malaikat mampu untuk menyerupai sesuatu yang lain ataupun menjelma menjadi seperti manusia, sesuai dengan keadaan yang diizinkan oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Malaikat adalah makhluk yang mulia, tidak berjenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan), tidak kawin dan tidak pula berketurunan. Malaikat tidak makan dan tidak minum, tetapi makanannya adalahtasbih (ucapan Subhaanallooh) dan tahlil (ucapan Laa Illaaha Illallooh). Mereka disifati diantaranya adalah dengan kebaikan, keindahan, malu dan disiplin.
Maka, dari berbagai arti, makna dan istilah serta definisi diatas, ada beberapa hal yang perlu untuk diluruskan, yakni:
Bahwa Malaikat adalah makhluk.
Janganlah kita keliru dalam memahami hal ini, karena kalau sampai salah persepsi dan salah ‘aqidah maka dapat mengakibatkan kekeliruan dalam meyakininya. Seperti kekeliruan yang terjadi pada pemahaman dari orang-orang Yahudi, dimana mereka meyakini bahwa Malaikat adalah Anak-anak Perempuan Allooh سبحانه وتعالى
Pengertian yang keliru seperti orang Yahudi tersebut  menyebabkan mereka kufur. Mengapa? Karena mereka mempunyai pengertian yang salah, yaitu:
Pertama, orang Yahudi meyakini bahwa Allooh سبحانه وتعالى beranak.
Kedua, orang Yahudi mengatakan bahwa anak Allooh adalah perempuan.
Ketiga, orang Yahudi memahami bahwa Malaikat adalah anak Allooh سبحانه وتعالى. Dan ini adalah salah besar.
Tidak kurang dari tiga kesalahan fatal dilakukan oleh orang-orang Yahudi dalam waktu yang sama, karena mereka meyakini bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allooh سبحانه وتعالى.
Yang benar adalah bahwa Malaikat adalah makhluk, karena Allooh سبحانه وتعالى tidak mempunyai anak,
Allooh سبحانه وتعالى sudah menjelaskan secara gamblang tentang asal usul maupun sifat manusia, sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa manusia itu berasal dari kera (teori Darwin), maka tidak usah dipercaya karena teori itu berasal dari orang yang kaafir kepada Allooh سبحانه وتعالى. Bagi kita orang yang beriman, tidak perlu lagi membahas tentang teori Darwin tersebut, karena kita hendaknya beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى beserta segala firman-Nya, membenarkan apa saja yang datang dari Allooh سبحانه وتعالى bahwa berdasarkan firman Allooh سبحانه وتعالى, manusia itu berasal dari tanah.
Sedangkan Malaikat, ada yang mempunyai nama dan ada yang tidak diberitakan namanya. Bukan berarti tidak ada namanya. Dan untuk perkara ‘Aqidah, maka kita hanya menetapkan dan hanya mengetahui jika ada berita dari Allooh سبحانه وتعالى. Kalau tidak ada berita dari Alloohسبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka berarti kita tidak tahu dan tidak boleh sok tahu (berlagak tahu). Karena sikap sok tahu terhadap Allooh صلى الله عليه وسلم itu, bukanlah sikap yang beradab.
Tentang bilangan, jumlah dan kuantitas ataupun kepadatan Malaikat, tidak ada yang tahu. Yang mempunyai pengetahuan tentang hal ini hanyalah Allooh سبحانه وتعالى
Malaikat itu selalu patuh dan taat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Tidak pernah ada Malaikat yang lalai seperti halnya manusia, bosan beribadah kepada Alloohسبحانه وتعالى, lalu berma’shiyat, berbuat dzolim bahkan kufur kepada Allooh سبحانه وتعالى. Tidak ada. Semua Malaikat memang diciptakan sejak awal untuk selalu patuh kepada Allooh سبحانه وتعالى

Allah menciptakan makhluk dalam tiga kategori, yaitu:
1.      Makhluk yang hidupnya selalu taat, patuh dan beriman kepada Alloohسبحانه وتعالى, dia lah Malaikat.
2.      Makhluk yang selalu kufur dan ma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dia lah iblis dan sekutunya.
3.      Makhluk yang ada yang seperti Malaikat (taat, patuh) dan ada yang seperti iblis, dia lah yang disebut dengan Al Insaan atau Al Basyar, yaitu manusia. Manusia bisa kaafir dan bisa mu’min. Yang mu’min pun ada yang taat dan patuh kepada Allooh سبحانه وتعالى dan ada mu’min yang selalu berma’shiyat.
Manusia dalam berbagai tingkatan, lebih bervariasi dibandingkan dengan makhluk yang lain. Malaikat itu monoton, mereka selalu patuh pada Allooh سبحانه وتعالى. Iblis juga monoton, selalu ma’shiyat kepada Allooh  سبحانه وتعالى. Sedangkan manusia, ada yang ma’shiyat dan ada pula yang taat kepada Allooh  سبحانه وتعالى. Itulah takdir Allooh سبحانه وتعالى. Kita hendak meniru siapa, apakah meniru Malaikat yang selalu patuh dan taat pada Allooh  سبحانه وتعالى, ataukah meniru iblis yang selalu ma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Sedangkan Jin, bisa pula seperti Malaikat yang patuh dan taat, bisa pula seperti iblis yang ma’shiyat. Maka manusia dan jin, disebut sebagai makhluk mukallaf (dikenai beban dan syari’at).
Perbedaan antara Malaikat dan Manusia:
1.      Dari awal penciptaan, bahwa manusia diciptakan dari tanah, sedangkan Malaikat diciptakan dari cahaya.
2.      Manusia diberi syahwat dan diberi akal oleh Allooh سبحانه وتعالى, sedangkan Malaikat tidak. Maka Malaikat tidak punya nafsu.
Diantara Malaikat yang kita ketahui antara lain: Jibril, Mika’il, Isrofil, Malakul Maut, Munkar, Nakir, Roqib ‘Atid, Maalik dan Ridhwaan.
Jibril adalah Malaikat yang bertugas untuk menyampaikan Wahyu, Mika’il adalah Malaikat yang bertugas untuk menurunkan rizqy, Isrofil adalah Malaikat yang bertugas untuk meniup Sangkakala,Malakul Maut adalah Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa, Munkar dan Nakir adalah Malaikat yang bertugas untuk memberi pertanyaan di kubur, Roqib ‘Atid adalah Malaikat yang bertugas untuk mengawasi dan mencatat amalan manusia, Maalik adalah Malaikat yang bertugas untuk menjaga Neraka dan Ridhwaan adalah Malaikat yang bertugas untuk menjaga surga.
Semua itu adalah Hikmah dari Allooh سبحانه وتعالى kepada kita bahwa Malaikat itu diciptakan untuk selalu patuh dan taat kepada Allooh سبحانه وتعالى, serta merupakan bagian dari Ibroh (pelajaran) kepada kita, manusia.

Beriman Pada Kitab-Kitab Allah Ta’alla
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallamadalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Diantara enam rukun-rukun iman yang wajib untuk diyakini oleh seorang mukmin ialah beriman kepada kitab-kitab suci yang telah Allah ta'ala turunkan kepada para Rasul -Nya. Dimana Allah Shubhanahu wa ta’ala menegaskan hal tersebut dalam firman -Nya:

﴿ ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ ٢٨٥ ﴾ [ البقرة: 285]
"Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat -Nya, kitab-kitab -Nya dan rasul-rasul -Nya". (QS al-Baqarah: 285).
Dan yang dimaksud dengan beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Rasul ialah dengan mengimani bahwa semua kitab-kitab tersebut turun dari sisi Allah azza wa jalla yang diberikan kepada para Rasul -Nya sebagai pemberi petunjuk dan sumber hukum untuk menghukumi secara adil diantara mereka. Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:

 ﴿ لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ ٞ ٢٥ ﴾ [ الحديد: 25]
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan". (QS al-Hadiid: 25).

Demikian pula sebagaimana ditegaskan oleh Allah Shubhanahu wa ta’ala dalam firman -Nya:

﴿ كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ ٢١٣ ﴾ [ البقرة: 213]
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan". (QS al-Baqarah: 213).

Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi dalam bukunya Syarh Thahawiyah menjelaskan, "Adapun beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul, maka kami mengimani nama-nama yang telah Allah ta'ala berikan dalam al-Qur'an seperti Taurat, Injil dan Zabur. Kami beriman bahwa Allah ta'ala masih memiliki kitab-kitab selain itu yang telah Allah Shubhanahu wa ta’ala berikan kepada para Nabi -Nya sedang kita tidak mengetahui jumlah serta nama-namanya kecuali Allah Shubhanahu wa ta’ala.
Adapun beriman pada al-Qur'an maka hal itu dengan cara menetapkan al-Qur'an, serta mengikuti petunjuknya, yang mana dua perkara ini merupakan kelebihan al-Qur'an dari pada keimanan kepada kitab-kitab suci lainnya. Maka wajib atas kita untuk beriman bahwa kitab-kitab yang diturunkan pada para rasul (dahulu) semuanya datang dari sisi Allah azza wa jalla, dengan benar, membawa petunjuk, cahaya, penjelas, serta penawar hati".[1]


Sekilas tentang Taurat:
Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi stempel pada Taurat, dengan pernyataan -Nya bahwa Taurat merupakan kitab suci teragung bagi Bani Israil yang diturunkan pada nabi Musa 'alaihi sallam, seperti ditegaskan dalam firman -Nya:

﴿ إِنَّآ أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ ٤٤  ﴾  [ المائدة: 44]
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)". (QS al-Maa'idah: 44).

Dalam ayat lain Allah ta'ala menjelaskan tentang Taurat tersebut dengan firman -Nya:

﴿ وَكَتَبۡنَا لَهُۥ فِي ٱلۡأَلۡوَاحِ مِن كُلِّ شَيۡءٖ مَّوۡعِظَةٗ وَتَفۡصِيلٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ١٤٥ ﴾
 [ الأعراف: 145]
"Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lembaran-lembaran (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu". (QS al-A'raaf: 145).
Kebanyakan para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan alwah dalam ayat adalah Taurat.[2]
Allah Shubhanahu wa ta’ala juga menyebut tentang Taurat ini dalam ayat yang lain dengan firman -Nya:

﴿ وَلَمَّا سَكَتَ عَن مُّوسَى ٱلۡغَضَبُ أَخَذَ ٱلۡأَلۡوَاحَۖ وَفِي نُسۡخَتِهَا هُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلَّذِينَ هُمۡ لِرَبِّهِمۡ يَرۡهَبُونَ ١٥٤ ﴾ [ الأعراف: 154]
"Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) lembaran-lembaran (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya". (QS al-A'raaf: 154).

Dan dijelaskan oleh Syinqithi  berkaitan dengan maksud firman Allah tabaraka wa ta'ala; "Dan didalam tulisannya". Beliau mengatakan, "Maksudnya yang tertulis didalam Taurat yang merupakan firman Allah Shubhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam maka dijumpai didalamnya ada "Petunjuk" yakni sebagai petunjuk serta pembimbing pada kebajikan, serta rahmat yang menjaga dari siksaan Allah Shubhanahu wa ta’ala serta kemurkaan -Nya bagi orang yang mau mengamalkannya".[3] Ada lagi yang berpendapat bahwa Taurat itu ialah lembaran-lembarannya Musa.

Selayang tentang Injil:
         Sedangkan Injil maka itu adalah kitab suci yang diturunkan kepada Isa, dan Injil tersebut sifatnya sebagai pembenar apa yang ada didalam Taurat serta penyempurna dari kekurangan yang ada didalamnya. Allah ta'ala menjelaskan tentang Injil ini melalui firman   -Nya:

﴿ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡإِنجِيلَ فِيهِ هُدٗى وَنُورٞ وَمُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَهُدٗى وَمَوۡعِظَةٗ لِّلۡمُتَّقِينَ ٤٦ ﴾ [ المائدة: 46]
"Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa". (QS al-Maa'idah: 46).

Imam Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya, "Dan kami jadikan Injil sebagai petunjuk yang akan memberi petunjuk pada mereka serta pengajaran yakni peringatan bagi orang-orang yang menerjang keharaman serta perbuatan dosa".[4]












Kitab Zabur:
Dan berikutnya adalah Zabur, kitab suci yang Allah Shubhanahu wa ta’ala turunkan kepada nabi Daud. Sebagaimana yang -Dia sebutkan dalam firman -Nya:

﴿ وَءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورٗا ١٦٣ ﴾ [ النساء: 163]
"Dan Kami berikan Zabur kepada Daud". (QS an-Nisaa': 163).

Shuhuf Ibrahim:
       Dan yang dimaksud dengan shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim ialah lembaran-lembaran yang telah Allah Shubhanahu wa ta’ala turunkan kepada nabi Ibrahim, yang mana telah Allah ta'ala sebutkan dalam firman -Nya:

﴿ إِنَّ هَٰذَا لَفِي ٱلصُّحُفِ ٱلۡأُولَىٰ ١٨ صُحُفِ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ ١٩ ﴾ [ الأعلى: 18-19]
"Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam lembaran-lembaran yang dahulu, (yaitu) lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa".  (QS al-A'laa: 18-19).

Tapi, perlu diketahui bahwa kitab-kitab terdahulu yang kita sebutkan diawal sudah banyak mengalami perubahan, penambahan serta pengurangan. Seperti yang telah AllahShubhanahu wa ta’ala singgung dalam banyak ayat -Nya, dari ulah orang-orang Yahudi yang perilakunya memang seperti itu, sebagai kaum yang menerima Taurat, justru mereka tidak menjaganya. Allah ta'ala berfirman:

﴿ وَمِنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْۛ سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ سَمَّٰعُونَ لِقَوۡمٍ ءَاخَرِينَ لَمۡ يَأۡتُوكَۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ مِنۢ بَعۡدِ مَوَاضِعِهِۦۖ يَقُولُونَ إِنۡ أُوتِيتُمۡ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمۡ تُؤۡتَوۡهُ فَٱحۡذَرُواْۚ ٤١ ﴾ [ المائدة: 41]
"Dan di antara orang-orang Yahudi. (mereka itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah". (QS al-Maa'idah: 41).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Yang benar (dalam berita) bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah dua orang Yahudi yang telah berzina. Sedang mereka (sebelumnya) telah merubah kitab Taurat yang ada ditangan mereka tentang perintah merajam bagi laki-laki yang telah menikah lalu berzina. Lantas mereka menggantinya dengan membuat peraturan baru dikalangan mereka, yaitu hanya dengan memberi hukuman seratus kali cambuk, kemudian memberi tanda dimukanya (sebagai tanda dirinya telah berzina) lantas ia dinaikan ke atas keledai dengan muka dibelakang, kemudian diarak ditengah keramaian".[5]
Ketika Allah Shubhanahu wa ta’ala menjelaskan sifat Taurat yang diturunkan pada Bani Israil:

﴿ إِنَّآ أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ يَحۡكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسۡلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ ٤٤ ﴾ [ المائدة: 44]
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah". (QS al-Maa'idah: 44).

Imam Qurthubi membawakan sanadnya dalam tafsirnya sampai kepada Yahya bin Aktam, beliau menceritakan, "Khalifah Ma'mun –Beliau adalah seorang khalifah pada waktu itu- punya majelis khusus untuk diskusi. Pada suatu ketika ada seorang Yahudi yang ikut serta masuk bersama orang-orang, pakaiannya rapi, rupanya menawan terus ditambah dengan bau parmum yang wangi. Ketika dirinya mendapat kesempatan untuk bicara, maka banyak yang kagum dengan gaya penyampain serta bicaranya yang cukup bagus, manakala majelis telah usai, maka Ma'mun memanggil sambil bertanya padanya, "Engkau Israil? Ya, jawabnya. Ma'mun menawarkan, "Masuklah Islam nanti kamu saya beri ini dan itu", beliau menjanjikan yang menggiurkan padanya. Namun orang tersebut menjawab, "Agamaku dan agama nenek moyangku! Lantas dirinya pergi meninggalkan Ma'mun.


Yahya melanjutkan, "Satu tahun kemudian dirinya datang kembali dalam keadaan sudah menjadi seorang muslim. Kemudian dirinya mendapat kesempatan berbicara, lalu berbicara tentang fikih dengan bahasa yang mengagumkan, tatkala telah selesai bermajelis. Dirinya lalu dipanggil untuk menghadap oleh Ma'mun, kemudian beliau bertanya padanya, "Bukankah kamu Israil yang dulu itu? Betul, jawab orang tersebut. Ma'mun bertanya kembali, "Lantas apa yang menyebabkan dirimu masuk Islam?
Dirinya bercerita, "Ketika aku pulang dari majelis anda, timbul dalam benakku sebuah niat untuk menguji agama-agama yang ada. Sedang engkau telah mengetahui tentang kemampuan ku untuk itu. Mula-mula aku mulai dari kitab Taurat, aku mengambilnya lantas aku menyalinnya menjadi tiga naskah, disaat menyalinnya aku menambah disitu serta mengurangi isinya, kemudian aku bawa ketiga salinan tersebut ke dalam gereja, kemudian orang-orang membelinya (tanpa ada respon negatif) sedikitpun.Selanjutnya aku mengambil Injil, kemudian aku menyalinnya menjadi tiga naskah (buah), dan ketika menyalinnya aku menambahkan disitu serta mengurangi isinya. Kemudian aku jual dipasar, dan orang-orang pun langsung membelinya.
Kemudian terakhir aku mengambil al-Qur'an, lantas aku menyalinnya menjadi tiga naskah, ketika menyalinnya aku menambahkan disitu serta mengurangi isinya, lantas aku campur ditumpukan naskah al-Qur'an lainnya. Maka tatkala mereka mendapati adanya tambahan serta dikurangi isinya mereka langsung membuang (membakarnya), mereka tidak mau membelinya. Maka dari situ aku yakin bahwa al-Qur'an adalah kitab yang dijaga, itulah sebab kenapa aku masuk Islam".
Yahya bin Aktam lalu melanjutkan kisahnya, "Kemudian pada tahun itu aku berangkat haji, disana aku berjumpa dengan Sufyan bin Uyainah, lantas aku ceritakan kisah diatas, maka beliau berkata padaku, "Ini sudah dijelaskan secara gamblang dalam kitab    -Nya". Aku tercengang sambil bertanya, "Dimana tempatnya? Beliau menjawab, "Didalam firman -Nya:

﴿ بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ ٤٤ ﴾ [ المائدة: 44]
"Disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah".  (QS al-Maa'idah: 44).

Disebabkan penjagaanya diserahkan kepada mereka maka kepercayaan tersebut disalah gunakan. Adapun tentang al-Qur'an maka Allah ta'ala berfirman:

﴿ إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩ ﴾ [ الحجر: 9]
"Sesungguhnya Kami -lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". (QS al-Hijr: 9).
 Maka Allah azza wa jalla secara pribadi yang akan menjaga al-Qur'an sehingga tidak akan hilang".[6]
Allah Shubhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam firman -Nya:

﴿ قُلۡ مَنۡ أَنزَلَ ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِي جَآءَ بِهِۦ مُوسَىٰ نُورٗا وَهُدٗى لِّلنَّاسِۖ تَجۡعَلُونَهُۥ قَرَاطِيسَ تُبۡدُونَهَا وَتُخۡفُونَ كَثِيرٗاۖ  ٩١ ﴾ [ الأنعام: 91]
"Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya". (QS al-An'aam: 91).

Kemudian dalam ayat lain Allah Shubhanahu wa ta’ala mencela mereka-mereka yang merubah kitab suci -Nya, Allah ta'ala berfirman:

﴿ فَوَيۡلٞ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ ٧٩ ﴾ [ البقرة: 79]
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu".(QS al-Baqarah: 79).






Begitu pula, kitab-kitab suci terdahulu sifatnya untuk zaman pada saat turunnya, dan diturunkan secara khusus bagi umat-umat yang menerimanya. Oleh karena itu, kitab-kitab tersebut tidak memiliki legalitas akan terus dipergunakan, sehingga Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjamin untuk menjaganya. Dan dalam kitab-kitab terdahulu telah dikabarkan berita tentang kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam diakhir zaman, seperti yang Allah ta'ala jelaskan dalam firman -Nya:

﴿ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ ١٥٧ ﴾ [ الأعراف: 157]
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka". (QS al-A'raaf: 157).
Al-Hafidh Ibnu Katsir menerangkan, "Ini adalah sifat yang dimiliki oleh MuhammadShalallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat didalam kitab-kitab suci yang dibawa oleh para nabi-nabi terdahulu sebagai kabar gembira bagi umat-umatnya tentang kedatangan beliau. Lantas mereka menyuruh umatnya agar mengikuti nabi akhir tersebut, dan sifat ini masih terus bisa mereka jumpai dalam kitab-kitabnya, yang diketahui oleh rahib serta ulamanya mereka".[7]
Seperti yang Allah ta'ala jelaskan dalam firman -Nya:

﴿ ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ ١٤٦﴾ [ البقرة: 146]
"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri". (QS al-Baqarah: 146).

Didalam ayat ini Allah ta'ala mengabarkan bahwa ulama ahli kitab, mereka mengenali kebenaran yang dibawa oleh Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada mereka seperti halnya salah seorang diantara mereka mengenali anaknya.[8] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Atha bin Yasar yang mengkisahkan, "Suatu ketika aku bertemu bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, lalu aku berkata, "Kabarkan padaku tentang sifatnya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang ada didalam Taurat? Beliau menjawab, "Tentu, demi Allah sesungguhnya beliau disifati didalam Taurat seperti sebagian sifat yang tercantum didalam al-Qur'an. Wahai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, kabar gembira dan pemberi peringatan serta penjaga bagi para umiyin. Engkau adalah hamba dan utusan -Ku, Aku menamaimu dengan al-Mutawakil, tidak berperangai jahat lagi kasar, tidak berteriak-teriak dipasar, tidak pula membalas kejelekan dengan kejelekan, namun engkau memaafkan dan mengampuni.
Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak akan mencabut nyawanya sebelum dirinya mampu menegakan serta menyempurnakan agama yang bengkok, samapi akhirnya mereka mau mengatakan, "La ilaha ilallah". Dirinya membuka dengan agama tersebut mata orang yang buta, kuping yang tuli serta hati yang terkunci". HR Bukhari no: 2125.

Ketetapan al-Qur'an:
Sedang al-Qur'an adalah kitab terakhir yang merupakan firman Allah tabaraka wa ta'ala yang turun dari -Nya dan akan kembali lagi kepada -Nya. Dan dengan adanya al-Qur'an ini maka sekaligus menghapus seluruh agama-agama yang ada, serta kitab-kitab suci terdahulu. Allah ta'ala telah menurunkan kitab suci ini kepada nabi kita MuhammadShalallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang Allah ta'ala sebutkan dalam firman -Nya:

﴿ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ ٤٨﴾ [ المائدة: 48]
"Dan Kami telah turunkan kepadamu alQur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain". (QS al-Maa'idah: 48).








Allah azza wa jalla juga menjelaskan dalam sebuh firman -Nya:

 ﴿ وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥ ﴾ [ ال عمران: 85]
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (QS al-Imraan: 85).

Sehingga tidak sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menyibukan diri mempelajari kitab-kitab suci terdahulu, tidak pula membacanya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, bahwasannya dirinya pernah datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallamsambil membawa lembaran kitab dari ahli kitab ditangannya. Lantas beliau membacanya dihadapan Nabi, maka seketika itu Nabi Muhammad Shalalallahu 'alaihi wa sallam marah, dan bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ! وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِ » [أخرجه أحمد]
"Apakah engkau akan mengambil agamanya ahli kitab wahai Ibnu Khatab? Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan -Nya, sungguh aku telah datang pada kalian dengan membaca cahaya yang terang benderang, tidaklah kalian menanyakan kepada mereka sesuatu lalu mereka mengabarkan padamu tentang kebenaran kemudian kalian mendustakannya, atau mengabarkan kebatilan lantas kalian membenarkannya. Dan demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, kalau sekiranya Musa hidup (kembali), maka tidak ada pilihan lain bagi dia melainkan mengikuti diriku". HR Ahmad 23/349 no: 15156. dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa 6/34-36 no: 1589.

Buah dari keimanan pada kitab-kitab terdahulu:
1.         Mengetahui keluasan rahmat Allah azza wa jalla serta kepedulian -Nya atas para makhluk -Nya. Dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla menurunkan pada setiap umat sebuah kitab sebagai pegangan yang akan memberi petunjuk kepada mereka.
2.         Tersibaknya hikmah Allah Shubhanahu wa ta’alla, kenapa -Dia menjadikan kitab-kitab ini diturunkan bagi tiap-tiap umat sesuai dengan kebutuhan mereka, lalu AllahShubhanahu wa ta’alla menutup kitab-kitab ini dengan menurunkan al-Qur'an yang mulia. Yang mana Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan kitab suci terakhir ini selaras bagi seluruh makhluk pada setiap perkembangan zaman dan tempat sampai hari kiamat kelak.
3.         Adanya sandaran bagi umat ini yang dijadikan sebagai saksi terhadap umat-umat terdahulu, bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla menegakan hujah atas mereka dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab.
4.         Bahwa beriman kepada kitab-kitab suci terdahulu yang diturunkan kepada para rasul, tidak mengharuskan untuk menetapkan Taurat dan Injil yang sekarang berada ditangan orang-orang Yahudi dan Nashrahi. Karena kitab tersebut telah dirubah serta ditambahi, sedangkan yang masih orisinil tanpa ada penyelewengan didalamnya itu cuma al-Qur'an. Dan ini merupakan keterangan dari Lajnah Daimah bagi sikap seorang muslim yang harus dimiliki terhadap kitab-kitab serta agama terdahulu. Dan secara tegas Lajnah juga menjelaskan bahwa ajakan untuk menyatukan semua agama adalah sama maka ini merupakan perbuatan kafir yang terang dan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.






Iman kepada Rasul
1.      Ta’rif  Nabi dan Rasul
Rasul adalah orang laki-laki pilihan yang Allah berikan wahyu berisi syari’ah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Sedang nabi adalah orang laki-laki yang Allah berikan wahyu kepadanya berisi syari’ah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Rasul dan nabi sama-sama mendapatkan wahyu, tetapi sering kali seorang Nabi diutus Allah kepada kaum yang memang sudah beriman sehingga perannya hanya menjalankan syari’ah yang sudah ada itu dan tidak membawa ajaran yang baru.seperti para Nabi yang pernah Allah utus kepada Bani Israil setelah ditinggalkan Nabi Musa, mereka bertugas mengajarkan dan mengamalkan Taurat, tidak membawa ajaran yang baru/bukandari Taurat. (QS. 2: 246). Di sinilah rahasia sabda Nabi : al ulama waratsatul Anbiya, bukan waratsaturrasul, karena peran ulama hanya terbatas pada menyampaikan ajaran agama yang ada bukan membuat aturan baru.

2.      Jumlah Nabi dan Rasul
Ketika Rasulullah ditanya oleh Abu Dzar, tentang berapa jumlah para nabi dan rasul itu? Nabi menjawab 120 (seratus dua puluh) ribu, dari mereka itu terdapat 313 (tiga ratus tiga belas) rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al Qur’an terdapt 25 orang, yaitu : 1.Adam, 2. Nuh, 3. Idris, 4. Shalih, 5. Ibrahim, 6. Hud, 7. Luth, 8. Yunus, 9. Ismail, 10. Ishaq, 11. Ya,qub, 12. Yusuf, 13. Ayyub, 14. Syu’aib, 15. Musa, 16.Harun, 17. Yasa’, 18. Dzulkifli, 19. Dawud,   20. Zakariyyah, 21. Sualaiman, 22. Ilyas, 23. Yahya, 24. Isa dan 25. Muhammad SAW.
18 orang nabi disebutkan namanya dalam surah Al An’am/6: 83-86, kemudian yang lainnya disebutkan di ayat-ayat lain seperti QS. Ali Imran/3: 33, Al A’raf, 65, 73, 85, Huud/11:50, 61, 84, Al Anbiya/21: 85.

3.      Syubuhat yang muncul dalam masalah Nubuwwah dan Risalah.
a.       Mengapa nabi dan  rasul itu tidak dari bangsa malaikat saja ?
Para nabi dan rasul diambil dari bangsa manusia itu sendiri, ( QS. 3:144) bukan dari jenis makhluk lain, meskipun pernah ada permintaan dari kaum kafir agar nabinya dari bangsa malaikat. Hal ini sangat tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan fungsi dan tugas rasul yang menjadi teladan. Bisa jadi ketika nabi yang dari malaikat itu menyerukan sesuatu umatnya mudah saja menolak dengan mengatakan :”Wajar saja ia bisa berbuat begitu, karena memang dia malaikat, sementara kita manusia biasa, bagaimana bisa seperti dia…..dst”

b.      Mengapa nabi dan  rasul itu selalu dari laki-laki, tidak ada yang wanita
Begitu  juga tidak ada nabi atau rasul dari kaum wanita. Kenabian adalah mutlak pilihan Allah, tidak ada intervensi siapapun dalam penunjukannya (QS. 21:7), disamping itu tugas-tugas kenabian yang harus dilakukan memang banyak yang bertentangan dengan fitrah kewanitaan, seperti menerima wahyu, berbaur dengan umat, berjihad, keluar rumah, dsb. Bagaimana jadinya jika nabi itu wanita yang sedang berhalangan lalu mendesak turun wahyu.. Dan sepanjang sejarah manusia memang belum pernah ada nabi wanita.


4.      Sifaturrasul
a.       Basyariyyaturrasul
Para nabi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan hal-hal yang bersifat umum, seperti makan, minum, menikah, berketurunan dan sifat kemanusian/basyariyyah lainnya. (QS. 25: 20, 13:38, 5:75)
Para Nabi tidak memiliki  kekuasaan sedikitpun yang menjadi kekhususan Allah, seperti mengetahui hal-hal ghaib, menguasai alam, mendatangkan keuntungan atau kerugian, memberkahi,  dsb, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. QS. 7:188,  Jin: 26-27

b. Ishmaturrasul.
Para rasul adalah orang yang ma’shum, terlindung dari dosa dan salah dalam kemampuan pemahaman agama, ketaatan, dan menyampaikan wahyu Allah, mereka telah dibekali Allah kesempurnaan dalam halamanah, shidq/ kejujuran, fathonah/ kecerdasan, dan tabligh/penyampaian, sehingga selalu siaga dalam menghadapi tantangan dan tugas apapun.
         



c.     Iltizamurrasul
Para rasul adalah orang-orang yang selalu komitmen dengan apapun yang mereka ajarkan. Mereka bekerja dan berda’wah sesuai dengan arahan dan perintah Allah, meskipun untuk menjalankan perintah Allah itu harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang berat baik dari dalam diri pribadinya, maupun dari para musuhnya. Dalam hal ini para rasul tidak pernah sejengkal-pun menghindar atau mundur dari perintah Allah.


5.      Mukjizat Rasul.
Para rasul juga dibekali mukjizat dan tanda-tanda keistimewaan lainnya, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya, bahwa mereka datang dari Allah SWT. Seperti yang pernah Allah  berikan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

6.      Rasul Ulul-Azmi.
Dari 25 orang rasul itu terdapat lima orang rasul yang dikenal dengan Ulul- Azmi minarrusul, yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka itu Allah sebutkan dalam firman Allah: “Dan Ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” QS. Al Ahzab/33:7
Lima rasul ulul-azmi inilah yang harus selalu kita kenang dan kita hayati perjalanan hidupnya, tanpa melupakan atau mengecilkan peran dan keteladanan rasul-rasul lainnya.
a.       Nabi Nuh, as. Kegigihannya dalam berda’wah siang dan malam, tanpa mengharapkan jasa dan imbalan dari kaumnya. Keberadaan istri dan anak yang menjadi pengahalang da’wahnya serta ia tidak pernah terpengaruh oleh tantangan dan ejekan itu.
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu, sebagaimana kamu sekalian mengejek kami” QS. Hud/11: 38

b.       Nabi Ibrahim, as. Kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, mulai dari pernyataannya memisahkan diri dari kepercayaan kaumnya termasuk ayahnya sendiri, caranya berdialog menunjukkan kebatilan patung/berhala kepada kaumnya, keberaniannya menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud dan kaumnya, hingga murka dan pembakaran Ibrahim oleh kaumnya (QS.21: 51-69).   Maka wajar orang yang sedemikian hanifnya, dan tinggi semangat da’wahnya, Allah tidak relakan terbakar oleh api Namrud.  Demikian juga kepindahannya ke Makkah, tanah tandus yang tidak berumput (QS. 14:37), kesiapan istri dan keluarga ketika harus ditinggal sendiri, Ibrahim pergi memenuhi perintah Allah. Kesungguhannya untuk berkorban, kebesaran jiwa istri, dan kepatuhan anak untuk dikorbankan, hanya karena memenuhi perintah Allah.

c.       Nabi Musa, as. Kisah terbanyak dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan Fir’aun.  Sejak kecilnya sudah dihadapkan dengan bahaya. Kerelaan ibunya menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga. Pembelaannya pada Bani Israil yang tertindas, membuatnya keluar dari istana Fir’aun, menuju ke Madyan, menjadi penggembala kambing Nabi Syu’aib selama sepuluh tahun. Lalu diperintahkan Allah kembali menemui Fir’aun mengajaknya beriman kepada Allah,QS. Al Qashash/28:2-40, Musa mulai berhadapan dengan tantangan besar, ditentang dan dimusuhi Fir’aun. Musa berhasil membawa sebagian Bani Israil setelah mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun. Musa di uji kesabarannya membawa Bani Israil, keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis dan pendurhakaan Bani Israil pada Musa, (QS.5:20-25).

d.       Nabi Isa, as. Kelahiran tanpa ayah (19:16-22), tuduhan keluarga Maryam atas diri Maryam, (19:27-28). Mukjizat Isa yang bisa berbicara saat di buaian, menyembuhkan orang sakit, dan menghidupkan orang mati, atas izin Allah (3:49) tidak membuatnya keluar dari statusnya sebagai hamba Allah (4:172). Tantangan  dari kaum Yahudi, yang berusaha membunuhnya (4:157-158). Pengkultusan yang dilakukan oleh kaum Nasrani, karena Isa dianggap memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan membuat burung dari tanah (3:49,  4:1710, 5:72-73, 116-120) membuatnya berdoa “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesngguhnya Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”.



e.       Nabi Muhammad, SAW.  Kesabarannya yang tak terhingga dalam mengajak kaumnya bertauhid kepda Allah. Tantangan dari kaumnya dan bahkan pamannya sendiri, hingga ia harus terusir dari kampung halamannya. Ke Thaif, dilempari batu, dituduh orang gila, tapi yang keluar dari mulutnya, hanya permohonan kepada Allah agar menunjuki mereka. Dst.

Demikianlah  kegigihan para rasul ulul azmi dalam menyelamatkan kaumnya dari bahaya kufur, agar mereka bertauhid kepada Allah. Seluruh usaha dan pengerahan kemampuan hanya ditujukan agar umat manusia menjadi beriman kepada Allah, hidup dengan benar, keluar dari lingkaran kebinatangan  untuk menjadi manusia utuh dan sempurna, memerankan fungsi khalifah, sebagai makhluk yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan makhluk manapun adanya.




























HARI AKHIR

1.  PENGERTIAN HARI AKHIR
Hari Akhir adalah hari kiamat yang  diawali dengan pemusnahan alam semesta ini dimana semua manusia semenjak dari nabiyullah Adam AS sampai terjadinya hari akhir akan dibangkitkan untuk mendapatkan balasan semua aktifitasnya.

2. URGENSI IMAN KEPADA HARI AKHIR
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang esensial dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan iman kepada hari akhir secara benar kita terhindar dari tiga hal di bawah ini :
1.      Hidup di dunia seperti hewan yang tidak mengerti hikmah kejadiaannya.
2.      Tiadanya perhatian dan kepedulian kecuali hanya keduniaan semata-mata, berusaha dengan segala kemampuan untuk meraih kedudukan di sisi manusia dan melupakan akan pedihnya azab Allah SWT.
3.      Tidak sempurna Islam dan Iman seseorang tanpa meyakini kebenaran hari akhir.

3. BUKTI-BUKTI HARI AKHIR
Sekalipun peristiwa ini sangat mengherankan orang-orang kafir bahkan mereka mengingkari adanya kebangkitan dan segala peristiwa-peristiwa yang harus dijalani manusia . Asumsi mereka sangat keliru karena bukti-bukti hari akhir dapat dibuktikan secara syar’iyyah, ‘aqliyyah  dan indrawi.
1.      Bukti syar’iy (agama) (64:7)
2.      Bukti Indrawi. Telah diperlihatkan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan didunia ini :
•         Peristiwa pembunuhan yang dipermasalahkan oleh Bani Israil, dihidupkan kembali oleh Allah SWT hanya dengan perantaraan daging sapi yang dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh (2:72,73 )
•         Peristiwa Nabi Ibrahim dan burung-burung yang dicincangnya kemudia diletakkan ditiap-tiap bagian di atas bukit lalu Allah berfirman : “ Panggillah! Niscaya mereka datang kepadamu dengan segera” (2:260).
Pendapat ini menurut Ath Thobari Dan Ibnu Katsir.
3.      Bukti logika (aqliyah). Perhatikanlah lingkungan yang ada di sekitar Anda yang ada kalanya tanam-tanaman di sekitar Anda menguning, kering lalu mati. Setelah beberapa hari hujan turun kembali tumbuh dan menghijau seperti semula.

4. DALIL-DALIL YANG MEWAJIBKAN IMAN KEPADA HARI AKHIR
Al Qur’an kalamullah memberikan banyak dalil tentang adanya dan kebenaran hari akhir. Melalui sifat-sifat Nya  yang Maha Kuasa (Qudrat) sangatlah mudah mematikan, menghidupkan dan mengembalikan tubuh-tubuh yang berserakan, tulang-tulang yang remuk hancur untuk dikembalikan seperti semula (36:78,79/25:5-7/50:15/21:105/23:16)

5. PERHATIAN AL QUR’AN TERHADAP HARI AKHIR
Kalau kita memperhatikan Al Qur’an dengan seksama maka kita menemukan beberapa ayat yang mengandung persoalan hari akhir baik yang berhubungan langsung  dengan keimanan kepada Allah maupun oleh sebab-sebab lainnya.
Pertama, Yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah ( 2:62,177).
Kedua, oleh sebab-sebab lain (45:24)

6. NAMA-NAMA HARI AKHIR
Dalam Al Qur’an terdapat beberapa nama hari akhir :
1.      Hari Akhir (2:4 )
2.      Hari Pembalasan (1 :4 )
3.      Hari Ba’ats ( 30:56)
4.      Hari Kiamat (39:60)
5.      Hari Perhitungan (14:41)






7. HIKMAH IMAN PADA HARI AKHIR
Semua ciptaan Allah mempunyai hikmah karena Allah tidak menjadikan sesuatu sia-sia belaka tanpa guna dan hikamah. Di bawah ini beberapa hikmah iman kepada Hari Akhir :
1.      Adanya rasa kebencian yang dalam kepada kema’siatan dan kebejatan moral yang mengakibatkan murka Allah  di dunia dan di akhirat.
2.      Menyejukkan dan menggembirakan hati orang-orang mukmin dengan segala kenikmatan akhirat yang sama sekali tidak dirasakan di alam dunia ini.
3.      Senantiasa tertanam kecintaan dan ketaatan terhadap Allah dengan mengharapkan mau’nah Nya pada hari itu.

8. PENGARUH IMAN KEPADA HARI AKHIR
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang paling berat dari segala macam aqidah dan kepercayaan manusia, dari zaman purbakala sampai zaman moderen dikalangan pemikir dan filosof, karena eksistensi iman kepada hari akhir belum terlintas dipelupuk mata manusia, maka adakalanya diremehkan oleh sebagian manusia terutama mereka yang materialistis dan sekuleris. Maka dengan demikian iman kepada hari akhir mempengaruhi jiwa kepribadian manusia, seperti di bawah ini :
1.      Dengan iman kepada hari akhir senantiasa memotivasi untuk beramal kebajikan dengan ikhlas mengharap ridho Allah semata.
2.      Senantiasa pula membendung niat-niat yang buruk apalagi melaksanakannya.
3.      Menjauhkan diri dari asumsi-asumsi yang mengkiaskan  apa yang ada di dunia ini dengan apa yang ada di akhirat.

9. HAL-HAL YANG WAJIB DIIMANI SEHUBUNGAN DENGAN HARI AKHIR
Sehubungan terjadinya hari akhir, terdapat beberapa hal yang wajib pula diimani dan diyakini kebenarannya :
1.      Fitnah kubur,. Setelah manusia mengakhiri kehidupannya di alam dunia ini, selanjutnya ia akan menuju alam kubur, menanti sampai tibanya  hari kebangkitan. Dan sebagai gambaran alam ini Rasulullah SAW bersabda : “Alam kubur itu adalah taman dari sebagian taman-taman surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. “ (HR Turmudzi dari Abu Said Al Khudri ).
2.      Kiamat dan tanda tandanya. Peristiwa hari kiamat diawali dengan beberapa tanda yang dilukiskan Al Qur’an pada banyak ayat (22:1,2/81:1-14/54:1/39:68/82:1-5/89:21-25/79:6-10).
3.      Kebangkitan. Setelah kiamat tiba saatnya manusia dibangkitkan dan peristiwa ini sangat mengherankan dikalangan orang-orang musyrik ( 34:7,8/17:49/56:47,48/22:5-7/46:33/36:77-83/50:1-15)
4.      Berkumpul. Setelah manusia dibangkitkan lalu dihimpun di padang mahsyar guna mempertanggungjawabkan perbuatannya ( 80:34-37/54:7,8/70:43/ 75:22-25/ 39:60/10:26-27/19:85,86/20:102-104/17:97)
5.      Perhitungan. Pada masa ini semua manusia menantikan keputusan hakim semesta alam, Hakim yang Maha Adil, mengadili dan memutuskan segala aktivitas manusia yang telah diperbuatnya di dalam dunia ini. Dan bagaimana pula keadaan manusia di hadapan Allah yang masa satu hari di akhirat sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia ( 18:49/70:4-10/20:108- 111/ 15: 92-93/ 41: 19-24/ 6 : 130/ 69:19-37/ 17:13,14/3:30/23:62/84:7-12/36:35).

6.      Shirath (Jembatan ). Dan setelah selesai hari perhitungan tibalah saatnya manusia diberikan balasan aktivitasnya kemudian ditentukan jalan yang harus dilalui oleh setiap manusia sesuai dengan perbuatannya. Diantara mereka ada yang jatuh dari shirat menuju neraka Jahannam dan ada yang selamat sampai surga bersama dengan malaikat-malaikat abror (19:71,72). Dari Abu Hurairoh ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Lalu jembatan itu dibentangkan di atas jahannam maka aku dan umatkulah yang mula-mula melaluinya.” (HR.Buchari dan Muslim )

7.      Surga dan Neraka. Inilah yang terakhir yang wajib diimani sehubungan dengan hari akhir yang merupakan tujuan akhir dari perjalanan panjang semenjak kehidupan di dunia. Dan bagi mereka yang menyerahkan diri, perbutan, hidup dan matinya bagi Allah maka surgalah yang pantas baginya. Akan tetapi yang mengingkari semua ini dan menghambakan dirinya kepada selain Allah nerakalah tempat kembali yang pantas baginya. Na’udzu billahi min dzalik.
•         Sifat dan keadaan surga : (55:46-60/52:17,28/76:12-22/15:47,48).
•        Sifat dan keadaan neraka : (4:56/26:91-102/38:55-64/18:29/56:51-56/40:50).


IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
 Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa  Qadhamemiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran.Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemkakan contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK. Sebelum Abdurofi lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang anak bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di SMK. Ketetapan Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
2. Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu
Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
3.Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisirukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)

Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
4.Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau bahagia.”(HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ” Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.

Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
B.Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian

2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
4.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukanAllah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.

Related Posts

0 komentar :

Translate

Instagram

Instagram
© 2011-2014 AJR. Designed by Bloggertheme9. Powered by Blogger.