Sya'ban ala Rasulullah SAW (amalan-amalan sunnah dan tarbiyah imaniyah di bulan Sya'ban)
Muhib Al-Majdi Jum'at, 30 Rajab 1435 H / 30 Mei 2014 17:30
Ilustrasi - Sya'ban ala Rasulullah SAW (amalan-amalan sunnah dan tarbiyah imaniyah di bulan Sya'ban)
Laporkan iklan tak layak
(Arrahmah.com) – Banyak di antara kaum muslimin yang terjebak dalam amalan-amalan bid’ah di bulan Sya’ban ini karena mereka mengamalkan hadits-hadits yang statusnya lemah, lemah sekali dan bahkan palsu. Padahal terdapat banyak hadits shahih yang menjelaskan dengan rinci bagaimana tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam mengisi bulan yang mulia ini.
Berikut ini kami sampaikan sekelumit tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam mengisi bulan Sya’ban dan beberapa persiapan yang selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin dalam rangka menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Semoga bermanfaat dan selamat menikmati.
Bulan puasa sunnah
Bulan Sya’ban adalah bulan yang disukai untuk memperbanyak puasa sunah. Dalam bulan ini, Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunah. Bahkan beliau hampir berpuasa satu bulan penuh, kecuali satu atau dua hari di akhir bulan saja agar tidak mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari puasa sunah. Berikut ini dalil-dalil syar’i yang menjelaskan hal itu:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Dari Aisyah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Dalam riwayat lain Aisyah berkata:
كَانَ أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانَ، ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunah adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Daud no. 2431 dan Ibnu Majah no. 1649)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Dari Ummu Salamah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi no. 726, An-Nasai 4/150, Ibnu Majah no.1648, dan Ahmad 6/293)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis: “Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa sunah di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari)
Imam Ash-Shan’ani berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengistimewakan bulan Sya’ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari bulan lainnya. (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/239)
Maksud berpuasa dua bulan berturut-turut di sini adalah berpuasa sunah pada sebagian besar bulan Sya’ban (sampai 27 atau 28 hari) lalu berhenti puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, baru dilanjutkan dengan puasa wajib Ramadhan selama satu bulan penuh. Hal ini selaras dengan hadits Aisyah yang telah ditulis di awal artikel ini, juga selaras dengan dalil-dalil lain seperti:
Dari Aisyah RA berkata: “Aku tidak pernah melihat beliau SAW lebih banyak berpuasa sunah daripada bulan Sya’ban. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruh harinya, yaitu beliau berpuasa satu bulan Sya’ban kecuali sedikit (beberapa) hari.” (HR. Muslim no. 1156 dan Ibnu Majah no. 1710)
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa (sunah) sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali jika seseorang telah biasa berpuasa sunnah (misalnya puasa Senin-Kamis atau puasa Daud—pent) maka silahkan ia berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082)
Bulan kelalaian
Para ulama salaf menjelaskan hikmah di balik kebiasaan Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunah di bulan Sya’ban. Kedudukan puasa sunah di bulan Sya’ban dari puasa wajib Ramadhan adalah seperti kedudukan shalat sunah qabliyah bagi shalat wajib. Puasa sunah di bulan Sya’ban akan menjadi persiapan yang tepat dan pelengkap bagi kekurangan puasa Ramadhan.
Hikmah lainnya disebutkan dalam hadits dari Usamah bin Zaid R.A, ia berkata: “Wahai Rasulullah SAW, kenapa aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunah dalam satu bulan tertentu yang lebih banyak dari bulan Sya’ban? Beliau SAW menjawab:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفِلُ النَّاسُ عَنْهُ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَال إِلى رَبِّ العَالمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عملي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih), antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila amal-amalku diangkat kepada Allah saat aku mengerjakan puasa sunah.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah menshahihkan hadits ini)
Bulan menyirami amalan-amalan shalih
Di bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak amalan sunah seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, beristighfar, shalat tahajud dan witir, shalat dhuha, dan sedekah. Untuk mampu melakukan hal itu semua dengan ringan dan istiqamah, kita perlu banyak berlatih. Di sinilah bulan Sya’ban menempati posisi yang sangat urgen sebagai waktu yang tepat untuk berlatih membiasakan diri beramal sunah secara tertib dan kontinu. Dengan latihan tersebut, di bulan Ramadhan kita akan terbiasa dan merasa ringan untuk mengerjakannya. Dengan demikian, tanaman iman dan amal shalih akan membuahkan takwa yang sebenarnya.
Abu Bakar Al-Balkhi berkata: “Bulan Rajab adalah bulan menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen hasil tanaman.”
Beliau juga berkata: “Bulan Rajab itu bagaikan angin. Bulan Sya’ban itu bagaikan awan. Dan bulan Ramadhan itu bagaikan hujan.”
Barangsiapa tidak menanam benih amal shalih di bulan Rajab dan tidak menyirami tanaman tersebut di bulan Sya’ban, bagaimana mungkin ia akan memanen buah takwa di bulan Ramadhan? Di bulan yang kebanyakan manusia lalai dari melakukan amal-amal kebajikan ini, sudah selayaknya bila kita tidak ikut-ikutan lalai. Bersegera menuju ampunan Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya adalah hal yang harus segera kita lakukan sebelum bulan suci Ramadhan benar-benar datang.
Bulan persiapan menyambut bulan Ramadhan
Bulan Sya’ban adalah bulan latihan, pembinaan dan persiapan diri agar menjadi orang yang sukses beramal shalih di bulan Ramadhan. Untuk mengisi bulan Sya’ban dan sekaligus sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadhan, ada beberapa hal yang selayaknya dikerjakan oleh setiap muslim.
a. Persiapan iman, meliputi:
• Segera bertaubat dari semua dosa dengan menyesali dosa-dosa yang telah lalu, meninggalkan perbuatan dosa tersebut saat ini juga, dan bertekad bulat untuk tidak akan mengulanginya kembali pada masa yang akan datang.
• Memperbanyak doa agar diberi umur panjang sehingga bisa menjumpai bulan Ramadhan.
• Memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban agar terbiasa secara jasmani dan rohani. Ada beberapa cara puasa sunah yang dianjurkan di bulan Sya’ban, yaitu: Puasa Senin-Kamis setiap pekan ditambah puasa ayyamul bidh (tanggal 13,14 dan 15 Sya’ban), atau puasa Daud, atau puasa lebih bayak dari itu dari tanggal 1-28 Sya’ban.
• Mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an dengan cara membaca lebih dari satu juz per hari, ditambah membaca buku-buku tafsir dan melakukan tadabbur Al-Qur’an.
• Meresapi kelezatan shalat malam dengan melakukan minimal dua rakaat tahajud dan satu rekaat witir di akhir malam.
• Meresapi kelezatan dzikir dengan menjaga dzikir setelah shalat, dzikir pagi dan petang, dan dzikir-dzikir rutin lainnya.
b. Persiapan Ilmu, meliputi:
• Mempelajari hukum-hukum fiqih puasa Ramadhan secara lengkap, minimal dengan membaca bab puasa dalam (terjemahan) kitab Minhajul Muslim (syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi) atau Fiqih Sunnah (syaikh Sayid Sabiq) atau Shahih Fiqih Sunnah (Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim) atau pedoman puasa (Tengku Moh. Hasbi Ash-Shidiqi) atau buku lainnya.
• Mempelajari rahasia-rahasia, hikmah-hikmah, dan amalan-amalan yang dianjurkan atau harus dilaksanakan di bulan Ramadhan, dengan membaca buku-buku yang membahas hal itu. Misal (terjemahan) Mukhtashar Minhjaul Qashidin (Ibnu Qudamah Al-Maqdisi) atau Mau’izhatul Mu’minin (Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi) atau buku-buku dan artikel-artikel para ulama lainnya.
• Mempelajari tafsir ayat-ayat hukum yang berkenaan dengan puasa, misalnya dengan membaca (terjemahan) Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Ibnu Katsir), atau Tafsir Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an (Al-Qurthubi), atau Tafsir Adhwa-ul Bayan (Asy-Syinqithi).
• Mempelajari buku-buku akhlak yang membantu menyiapkan jiwa untuk menyambut bulan Ramadhan.
• Mendengar ceramah-ceramah para ustadz/ulama yang membahas persiapan menyambut dan mengisi bulan suci Ramadhan.
• Mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an sebagai persiapan bacaan dalam shalat Tarawih, baik bagi calon imam maupun orang yang shalat tarawih sendirian di akhir malam (tidak berjama’ah ba’da Isya’ di masjid).
• Mendengarkan bacaan murattal shalat tarawih para imam masjid yang terkenal keahliannya di bidang tajwid, hafalan, dan kelancaran bacaan.
c. Persiapan dakwah, meliputi:
• Menyiapkan materi-materi untuk kultum, taushiyah, ceramah, khutbah Jum’at dan dakwah bil lisan lainnya.
• Membuat serlebaran, brosur, pamflet, majalah dinding, buletin dakwah dan lembar-lembar dakwah yang mengingatkan kaum muslimin tentang tata cara menyambut Ramadhan.
• Mengikuti kultum, ceramah-ceramah, dan pengajian-pengajian yang diadakan di sekitar kita (lingkungan masjid, tempat kerja, tempat belajar-mengajar) baik sebagai pemateri atau peserta sebagai bentuk persiapan dan pembiasaan diri untuk mengikuti kegiatan serupa di bulan Ramadhan.
• Mengadakan pesantren kilat, kursus keislaman, islamic study dan acara-cara sejenis.
d. Persiapan Keluarga, meliputi:
• Menyiapkan anak-anak dan istri untuk menyambut kedatangan Ramadhan dengan mengenalkan kepada mereka persiapan-persiapan yang telah disebutkan di atas.
• Membiasakan mereka untuk menjaga shalat lima waktu, shalat sunnah Rawatib, shalat dhuha, shalat malam (tahajud dan witir), dan membaca Al-Qur’an.
• Memberikan taushiyah /kultum harian jika memungkinkan.
• Meminimalkan hal-hal yang melalaikan mereka dari amal shalih di bulan Sya’ban dan Ramadhan, seperti musik-musik dan lagu-lagu jahiliyah, menonton TV, dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak membawa manfaat di akhirat.
• Menyisihkan sebagian pendapatan untuk sedekah di bulan ini dan bulan Ramadhan.
e. Persiapan Mental
• Menyiapkan tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk:
• Membuka lembaran hidup baru dengan Allah SWT, sebuah lembaran putih yang penuh dengan amal ketaatan dan berisi sedikit amal-amal keburukan
• Membuat hari-hari kita di bulan Ramadhan tidak seperti hari-hari kebiasaan kita di bulan lain yang penuh dengan kelalaian dan kemaksiatan
• Meramaikan masjid dengan melakukan shalat lima waktu secara berjama’ah di masjid terdekat dan menghidupkan sunah-sunah ibadah yang telah lama kita tinggalkan, seperti: bertahan di masjid ba’da Subuh sampai terbitnya matahari untuk dzikir, tilawah Al-Qur’an, atau belajar-mengajar; hadir di masjid sebelum adzan dikumandangkan; bersegera ke masjid untuk mendapatkan shaf awal; menunggu kedatangan imam dengan shalat sunnah dan niat I’tikaf; dst.
• Membersihkan puasa dari hal-hal yang merusak pahalanya, seperti bertengkar, sendau gurau dan perbuatan-perbuatan iseng yang sekedar untuk mengisi waktu tanpa membawa manfaat akhirat sedikit pun (main catur, main kartu, nongkrong bareng sambil menyanyi dan main gitar; dst)
• Menjaga dan membiasakan sikap lapang dada dan pemaaf
• Beramal shalih di bulan Ramadhan dan memulai banyak niat sedari sekarang. Seperti; niat bertaubat, niat membuka lembaran hidup baru dengan Allah, niat memperbaiki akhlak, niat berpuasa ikhlas karena Allah semata, niat mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sekali, niat shalat tarawih dan witir, niat memperbanyak amalan sunah, niat mencari ilmu, niat dakwah, niat membantu menolong dan menyantuni sesama muslim yang membutuhkan, niat memperjuangkan agama Allah, niat umrah, niat jihad dengan harta, niat I’tikaf; dst)
f. Persiapan Jihad melawan hawa nafsu
• Mengekang hawa nafsu dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan keinginan hidup mewah, boros, kikir, dan menikmati makanan-minuman yang lezat atau pakaian yang baru di bulan Ramadhan
• Membiasakan lisan untuk mengatakan perkataan-perkataan yang baik dan bermanfaat; mencegahnya dari mengucapkan perkataan-perkataan keji, jorok, menggunjing, mengadu domba, dan perkataan-perkataan yang tidak membawa manfaat di akhirat
• Mencegah hawa nafsu dari keinginan untuk melampiaskan kemarahan, kesombongan, penyimpangan, kemaksiatan dan kezaliman
• Membiasakan diri untuk hidup sederhana, ulet, sabar, dan sanggup memikul beban-beban dakwah dan jihad di jalan Allah
• Melakukan muhasabah (introspeksi) harian dengan membandingkan antara program-program persiapan di atas dan tingkat keberhasilan pelaksanaannya.
Inilah sekelumit amalan sunnah di bulan Sya’ban dan persiapan yang selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin dalam rangka menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan.
Semoga kita termasuk golongan yang bisa berniat, berucap, dan berbuat yang terbaik di bulan Sya’ban dan Ramadhan yang akan datang. Hanya kepada Allah SWT kita memohon petunjuk dan pertolongan
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2014/05/30/14083-syaban-ala-rasulullah-amalan-sunah-dan-tarbiyah-imaniyah-di-bulan-syaban.html#sthash.8pJEZAPa.dpuf
Oleh: Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi
‘Aisyah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Rasulullah biasa berpuasa sampai kami mengatakan beliau tidak berbuka dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak berpuasa. Aku sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa secara sempurna dalam sebulan kecuali pada bulan Ramadhan dan aku juga tidak pernah melihat beliau paling banyak berpuasa (dalam sebulan) dari berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari no. 1833 dan Muslim no. 1956)
Para pembaca yang berbahagia.
Bulan Sya’ban merupakan bulan kedelapan dalam penanggalan hijriyah. Kalau ada yang bertanya mengapa bulan ini dinamakan dengan “Sya’ban”?
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i dalam kitab “at-Taudhih” juz 13 halaman 445 menukilkan ucapan Ibnu Duraid bahwa bulan ini dinamakan dengan “Sya’ban” (berpencar) karena berpencarnya orang-orang Arab pagan (para penyembah berhala) dahulu, yaitu mereka berpencar dan berpisah pada bulan ini untuk mencari air.
Dan ada yang mengatakan karena pada bulan tersebut orang-orang Arab berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan. Ada pula yang mengatakan “Sya’ban” juga berarti nampak atau lahir karena bulan ini nampak atau lahir diantara bulan Ramadhan dan Rajab.
Amalan Bulan Sya’ban Yang Disyariatkan
Adapun amalan yang disyariatkan pada bulan Sya’ban adalah banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam hadits diatas. Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan tentang amalan puasa Sya’ban.
Namun yang perlu kita ingat dalam hal ini adalah tidak boleh mengkhususkan untuk berpuasa pada hari-hari tertentu di bulan Sya’ban apakah di awal bulan, pertengahan bulan (Nishfu Sya’ban) atau akhir bulan, dikarenakan Rasulullah sendiri tidak pernah mengkhususkannya.
Mengapa Rasulullah tidak menyempurnakan puasa satu bulan penuh pada bulan Sya’ban?
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i menjawab, “Yaitu agar jangan sampai orang menyangka bahwasanya puasa (pada bulan) tersebut hukumnya adalah wajib.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 443)
Hikmah Puasa Sya’ban
Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menguraikan hikmah dari banyaknya puasa Rasulullah pada bulan Sya’ban, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ada yang mengatakan karena Rasulullah sering melakukan safar (bepergian) atau keperluan lainnya sehingga terhalang dari melakukan puasa sunnah 3 hari tiap bulannya, maka beliau menggabungkan jumlah puasa sunnah 3 hari tiap bulan yang ditinggalkan dan ditunaikannya pada bulan Sya’ban.
2. Karena dalam rangka mengagungkan bulan Ramadhan.
3. Istri-istri beliau mengqadha (membayar) puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan sebelumnya pada bulan Sya’ban maka beliau pun ikut menemani puasa bersama mereka.
4. Karena bulan Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia. Padahal dalam bulan tersebut terdapat suatu keutamaan yaitu amalan-amalan yang dilakukan pada bulan tersebut akan diangkat kepada Allah. Dan Rasulullah ingin agar amalannya diangkat dalam keadaan sedang berpuasa.
Al-Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam kitab “Nailul Authar” juz 4 halaman 331 bahwa hikmah yang lebih tepat dalam hal ini adalah karena bulan Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia sebagaimana disebutkan dalam hadits Usamah ketika bertanya kepada Rasulullah. Sahabat Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَان قَالَ ذَلِكَ شَهْرُ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلىَ رَبِّ العَالميَنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah, aku melihat engkau lebih banyak melakukan puasa (sunnah) pada bulan Sya’ban dibandingkan bulan-bulan lainnya. Rasulullah bersabda: ‘Itulah bulan yang manusia lalai darinya yaitu bulan antara bulan Rajab dengan Ramadhan, dan itu adalah bulan dimana di dalamnya amalan-amalan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Dan aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.” (HR. an-Nasa’i no. 2357, hadits ini hasan bisa dilihat dalam “Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa’i” juz 6, hal. 1)
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i berkata, “Dan Rasulullah mengkhususkan bulan Sya’ban dengan banyak berpuasa dikarenakan pada bulan tersebut amalan-amalan hamba diangkat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 442)
Amalan Bulan Sya’ban Yang Tidak Disyariatkan
Diantara kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian manusia pada bulan Sya’ban dan dianggap sebagai suatu bentuk ibadah namun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah adalah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban (tanggal 15 Sya’ban) dengan mengadakan perkumpulan, meramaikan malam tersebut dan melakukan salat berjama’ah pada malam tersebut serta berpuasa pada keesokan harinya. Dan para ulama telah mengingkari kesalahan-kesalahan ini di dalam kitab-kitab mereka, diantaranya adalah para ulama dari kalangan madzhab Syafi’iyyah:
Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i menukilkan ucapan al-Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya “al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah” juz 1 halaman 184 sebagai berikut:
“… dan seluruh apa yang diriwayatkan dari hadits-hadits yang masyhur (di masyarakat) tentang keutamaan-keutamaan malam ini (malam Jum’at pertama dari bulan Rajab) dan malam Nishfu Sya’ban adalah batil (tidak shahih), mengandung kedustaan dan tidak ada asalnya …”
Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i menjelaskan:
“Salat yang dikenal dengan salat Raghaib yaitu sebanyak 12 rakaat yang dilakukan antara waktu maghrib dan isya’ di malam Jum’at pertama pada bulan Rajab dan salat yang dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat maka kedua salat ini adalah tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan mengandung kemungkaran serta kejelekan …”
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya masih pada halaman yang sama:
“… dan janganlah engkau tertipu dengan adanya beberapa hadits yang menyebutkan tentang (disyariatkannya) kedua salat itu, karena sesungguhnya itu semuanya adalah batil (tidak shahih) dan jangan pula tertipu dengan sebagian orang yang tersamarkan atasnya hukum kedua salat tersebut dari kalangan para ulama yang dia membuat tulisan tentang dibolehkannya kedua salat tersebut, maka sesungguhnya yang demikian adalah keliru. Dan sungguh asy-Syaikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Isma’il al-Maqdisi telah menulis suatu kitab yang sangat berharga tentang tidak disyariatkannya 2 salat tersebut, beliau membahasnya dengan baik dan bagus di dalam kitab tersebut.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, juz 4 hlm. 56)
Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i juga menegaskan:
“Termasuk dari amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah dan merupakan kejelekan adalah salat Raghaib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan salat Nishfu Sya’ban. Dan hadits yang menerangkan tentang kedua amalan tersebut adalah tidak shahih. An-Nawawi dan ulama selain beliau juga telah mengingkari dengan keras kedua amalan tersebut.” (Al-Manhaj al-Qowim juz 1 hlm. 288)
Hadits-Hadits Lemah Seputar Sya’ban
إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ؛ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ ؟ فَلَا يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلَّا أُعْطِيَ ، إِلَّا زَانِيَةٌ بِفَرْجِهَا ، أَوْ مُشْرِكٌ
“Apabila telah tiba malam pertengahan pada bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban) maka ada suara yang menyerukan (Allah): ‘Barangsiapa yang meminta ampun (kepada-Ku) maka akan Aku ampuni dia, Barangsiapa yang meminta (kepada-Ku) maka akan Aku penuhi permintaannya’, maka tidaklah seorang meminta sesuatu (kepada Allah) melainkan akan dipenuhi permintaannya. Kecuali seorang wanita pezina atau orang yang menyekutukan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “Syuabul Iman” no. 3836 dari jalan Jami’ bin Shabih ar-Ramli dari Markhum bin ‘Abdul ‘Aziz dari Dawud bin Abdurrahman dari Hisyam bin Hassan dari al-Hasan dari sahabat ‘Utsman bin Abil ‘Ash.
Hadits ini adalah lemah karena di dalam sanadnya terdapat 2 cacat. Yang pertama adalah ‘an’anah-nya seorang rawi yang bernama al-Hasan (al-Bashri) dan dia dikenal sebagai seorang rawi mudallis. Yang kedua adalah kelemahan seorang rawi yang bernama Jami’ bin Shabih ar-Ramli. (Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, juz 14, hlm. 1099)
خَمْسُ لَيَالٍ لاَ تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَة : أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَةُ الجُمْعَةِ وَلَيْلَةُ الفِطْرِ وَلَيْلَةِ النَّحْرِ
“Ada 5 malam yang tidak akan ditolak doa orang yang berdoa di dalamnya: awal malam dari bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adha.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq” no. 1452 dari jalan Abu Sa’id Bandar bin ‘Umar dengan sanadnya dari Ibrahim bin Abi Yahya dari Abu Qa’nab dari sahabat Abu Umamah.
Hadits ini adalah palsu karena di dalamnya sanadnya terdapat 2 orang rawi yang dikenal sebagai pendusta yaitu Abu Sa’id Bandar bin Umar dan Ibrahim bin Abi Yahya.
Al-Imam Sirajuddin Ibnu Mulaqqin asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak ada hadits yang shahih yang menerangkan tentang masalah (pengkhususan) salat pada malam Nishfu Sya’ban.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 445)
Al-Hafizh Zainuddin Abul Fadhl al-‘Iraqi asy-Syafi’i mengatakan, “Hadits tentang pengkhususan salat pada malam Nishfu Sya’ban adalah palsu atas nama Rasulullah dan kedustaan atas nama beliau.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, juz 1, hlm. 190)
Kesimpulan: Para ulama ahli hadits telah meneliti bahwa semua hadits yang menyebutkan tentang keutamaan meramaikan malam Nishfu Sya’ban dengan salat atau yang lainnya dan berpuasa pada siang harinya tidak ada satu pun yang shahih yang dapat dijadikan pegangan untuk beramal
Saturday, June 6, 2015
Sya'ban ala Rasulullah SAW (amalan-amalan sunnah dan tarbiyah imaniyah di bulan Sya'ban) sebentar ladi puasa1436 H 2015 M
Ahmad Jalaluddin Rabbany
11:11 AM

0 komentar :