1. Keimanan, keberagamaan, dan ketakwaan Umar
Umar telah mencapai puncak tertinggi dalam hal keimanan dan ketaqwaan, dalam ibadah dan ketaatan. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah mendapat sebuah mimpi yang menakjubkan tentangnya. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Saat saya sedang tidur, saya melihat orang-orang dihadapkan padaku. Mereka semua memakai gamis, ada yang sebatas dada dan ada yang lebih rendah dari itu. Lalu dihadapkan kepadaku Umar bin Khaththab, dia menggunakan gamis yang terjurai.” Orang-orang lalu bertanya, “Bagaimana engkau menafsirkan mimpimu wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “(Pakaian itu melambangkan) Agama.”
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam menggambarkan dengan sebuah kalimat pendek bagaimana Umar telah mencapai tingkat keberagamaan yang tinggi, sehingga keimanan benar-benar melekat kuat pada dirinya.
Suatu hari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam melihat Umar mendekat padanya. Beliau berkata, “Ketahuilah Wahai Ibnu Khaththab, demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh tak ada setan yang berpapasan denganmu di suatu jalan melainkan setan tersebut akan berpaling ke jalan lain untuk menghindar dari jalanmu.”
Para setan saja lari menghindari sosok mukmin yang hebat ini. Setan merasa putus asa atasnya karena tindakan-tindakannya senantiasa dilaksanakan pada tekad yang kuat. Jika dia berbicara, bicaranya benar, jika mengimani sesuatu, imannya mantap. Dia tidak suka membicarakan hal yang tidak berguna, tidak suka melakukan perbuatan yang mungkar. Tepat apa yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib mengenai Umar, “Kami para shahabat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tidak ragu behwa ketenangan itu diucapkan melalui lisan Umar.”
Abdullah bin Syaddad menceritakan tentang kekhusyukan Umar. Dia berkata, “Saya mendengar isak tangis Umar Radiyallahu ‘Anhu meski saya berada pada shaf yang paling akhir pada saat shalat subuh. Waktu itu dia membaca surat Yusuf, hingga sampai ayat, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf [12]: 86).
Sedangkan Ubaid bin Umar mengatakan, “Umar bin Khaththab mengimami kami shalat Subuh, maka dia membaca surat Yusuf hingga samapi ayat, “Kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dan diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya)” (QS. Yusuf [12]: 84). Dia lalu menangis dan tidak sanggup melanjutkan bacaannya, maka dia pun langsung ruku’.”
Umar suka melakukan shalat di saat larut malam. Salah seorang istrinya menceritakan, “Waktu itu dia shalat Isya, kemudian dia menyuruh meletakkan bejana kecil yang berisi air di arah kepalanya. Ketika dia bangun pada malam hari, dia meletakkan tangannya di air, lalu mengusapkannya pada wajahnya. Kemudian dia berdzikir pada Allah. Dia terbangun beberapa kali, sampai kemudian tiba saat dia bangun untuk mengerjakan shalat.”
Jika pulang ke rumah, dia selalu membuka mushaf dan membacanya. Terkadang dia mengundang Abu Musa Al-Asy’ari, shahabat yang memiliki bacaan Al-Qur’an yang baik dan indah, lalu berkata padanya, “Ingatkan kami pada Tuhan kami Subhanahu wa Ta’ala.” Maka Abu Musa pun membacakan Al-Qur’an untuknya.
Di samping itu Umar senantiasa berpuasa sepanjang tahun. Pada masa kekhalifahannya dia memimpin pelaksanaan haji sepuluh kali berturut-turut.
Mengenai kedermawanannya, pembantunya Aslam mengatakan, “Saya tidak melihat seorang pun setelah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam yang lebih dermawan sampai akhir hayatnya melebihi Umar bin Khaththab.”
Kezuhudannya juga luar biasa. Muawwiyah menggambarkannya dengan sangat indah. Dia berkata, “Adapun Abu Bakar, dia tidak menginginkan dunia dan dunia pun tak menginginkannya. Sedangkan Umar, dunia menginginkannya sementara dia tidak menginginkan dunia.”
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Umar tidak mendahului kami dalam berhijrah, tapi saya tahu satu hal yang membuatnya melebihi kami, dia orang yang paling zuhud terhadap dunia di antara kami semua.”
Ketika Umar Al-Faruq sedang menghadapi masa-masa kritis menjelang wafatnya, beberapa orang shahabatnya duduk di dekatnya, memuji apa yang telah dipersembahkannya untuk Islam. Pada kesempatan tersebut Umar justru berkata, “Demi Allah, kalau saya memiliki segunung emas, pasti akan saya gunakan untuk menebus diri saya dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum saya menemui-Nya.”
Umar juga kerap mengulang-ngulang ucapan berikut ini saat berkumpul bersama para shahabatnya, “Kalau ada seruan dari langit mengatakan, “Wahai sekalian manusia, kalian semua akan masuk surga kecuali satu orang,” saya pasti sangat takut kalau-kalau orang itu ternyata saya. Kalau ada seruan mengatakan, “Wahai sekalian manusia, kalian semua akan masuk neraka kecuali satu orang,” saya pasti sangat berharap orang itu adalah saya.”
Suatu kali dia sedang melaksanakan thawaf mengelilingi ka’bah. Dia memanjatkan do’Ali berikut, “Ya Allah, jika Engkau menuliskan aku dalam kebahagian, tetapkanlah aku di sana. Jika Engkau menuliskanku dalam kesengsaraan hapuslah aku darinya dan tetapkanlah aku dalam kebahagiaan. Sesungguhnya Engkau menghapus dan menetapkan apapun yang Enggkau kehendaki dan di sisimulah Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).
2. Ucapannya yang benar dan kesesuaiannya
Di antara sifat Umar bin Khaththab yang membuatnya berbeda dari yang lain adalah ucapannya yang benar, dia tidak pernah takut terhadap celaan orang dalam menyampaikan kebenaran. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah mengatakan tentang hal tersebut. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kebenaran melekat pada lisan dan hati Umar.”
Umar telah mendampingi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada masa itu banyak wahyu yang turun, Rasulullah pun menyampaikannya pada semua orang, mengajari mereka, dan memberi penjelasan. Di samping itu terjadi berbagai peristiwa, muncul banyak persoalan, yang kadang membutuhkan pendapat para shahabat. Dalam hal ini Umar kerap memberi sumbangan pemikiran, lalu datang wahyu mendukung pemikiran tersebut. Bahkan Umar sering menginginkan sesuatu berubah, menganggap baik beberapa hal lain, berharap terjadi sesuatu, lalu wahyu pun turun sesuai dengan apa yang dibicarakan atau diinginkan oleh Umar.
Inilah nikmat luar biasa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Umar. Rasulullah menjelaskan hal tersebutdengan sabdanya, “Pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang yang ucapannya selalu sejalan dengan kebenaran, apa-apa yang dipikirkannya seringkali terjadi karena dia mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika di antara umatku ada yang seperti itu, maka Umar adalah salah satunya.”
Umar sendiri menceritakan, “Saya mendapatkan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tiga hal. Saya pernah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat?” maka turun ayat, “Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat.”(QS. Al-Baqarah [2]: 125). Lalu saya pernah menyarankan, “Bagaimana jika engkau perintahkan para ummul mukminin menggunakan hijab?” maka Allah menurunkan ayat hijab. Kemudian suatu saat saya mendengar keluhan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam atas sebagian istrinya, maka saya pun menemui mereka dan mengatakan, “Berhentilah kalian mengeluh atau Allah akan mengganti kalian untuk Rasulullah dengan yang lebih baik dari kalian.” Saat aku mengatakan hal itu pada salah satu istri beliau, dia menjawab, “Wahai Umar, tidakkah ada pada Rasulullah nasihat untuk istri-istrinya, hingga engkau yang menasehati mereka?” Maka Allah menurunkan ayat, “Boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh.” (QS. At-Tahrim [66]: 5).
Di antara pandangan Umar juga, hendaknya orang munafik itu tidak boleh dishalatkan ketika meninggal dunia, karena mereka telah menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka pun telah melampaui batas dalam kemunafikannya. Maka turun ayat yang menyatakan hal tersebut.
Umar menceritakan, “Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam diminta untuk menshalatinya. Pada saat beliau telah berdiri untuk menshalati, saya mendekati beliau dan berbisik padanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menasehati Ibnu Ubay, sementara pada waktu itu dia berkata begini-begitu?” saya pun menyebutkan beberapa ucapannya pada Rasulullah. Beliau lalu tersenyum dan berkata, “Mundurlah hai Umar.” Namun saya terus berusaha menjelaskan, sampai akhirnya beliau berkata, “Saya diberi pilihan, maka saya harus memilih. Seandainya saya tahu bahwa jika saya memintakan ampunan kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dia akan diampuni, pasti saya akan lebihkan!”
Umar melanjutkan ceritanya, “Maka Rasulullah pun akhirnya menshalati Abdullah bin Ubay. Setelah selesai beliau pun pergi, tak lama berselang turun dua ayat dari surat Bara’ah (At-Taubah), “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”(QS. At-Taubah [9]: 84). Setelah itu baru saya terperengah mengingat betapa beraninya saya tadi mempengaruhi Rasulullah. Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Umar juga pernah memendam keinginan agar khamar diharamkan. Dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang tuntas.” Maka Allah pun menurunkan ayat tentang pengharaman khamar.
Termasuk juga turunnya ayat yang memperkuat pendapatnya terkait tawanan perang Badar dan berbagai situasi lainnya yang jumlahnya cukup banyak.
3. Ketegasan Umar dalam membela kebenaran
Jika sebelum menyatakan keislamannya Umar terkenal sebagai sosok yang keras menentang Islam, maka setelah masuk Islam Umar menjelma menjadi sosok yang keras dalam membela Islam. Dia berusaha menampakkan kemuliaan Islam dan kaum muslimin sejelas mungkin. Maka kekuatannya yang luar biasa itu berubah menjadi sesuatu yang menguntungkan kaum muslimin, sehingga Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menggambarkan dalam sabdanya, “Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar dan yang paling keras di antara mereka dalam membela agama Allah adalah Umar.”
Suatu ketika Abu Sufyan bin Harb datang ke Madinah dengan tergesah-gesah untuk meminta maaf atas nama Quraisy atas pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perjanjian Hudaibiyah, sekaligus ingin memperkuat kembali akad perjanjian tersebut dan memperpanjang masa berlakunya. Dia berusaha melobi beberapa shahabat, namun tidak mendapat respon yang positif. Ketika dia mencoba melobi Umar untuk memberinya dukungan di hadapan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, Umar justru mencelanya, “Aku merekomendasikan kalian pada Rasulullah? Demi Allah, kalaulah saya tidak mendapatkan selain seekor semut kecil, pasti telah kuperangi kalian dengannya!”
Maksudnya adalah firman Allah Ta’ala, “(Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohon ampunan bagi mereka…” (QS. At-Taubah [9]: 80)
Umar melanjutkan kata-katanya, “Apa yang baru dari perjanjian kita telah dijadikan usang oleh Allah, apa yang kuat telah diputus-Nya, apa yang terputus takkan disambung-Nya kembali.”
Kerasnya sikap Umar dan kewibawaannya menembus ke dalam hati setiap orang. Bahkan di kalangan para shahabatnya sendiri Umar sangat disegani. Sa’ad bin Abi Waqqash menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di rumah Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.
“Pada suatu ketika Umar bin Khaththab pernah meminta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, saat itu ada beberapa wanita Quraisy yang sedang berbicara dengan beliau secara panjang lebar dan dengan suara yang lantang. Setelah Umar meminta izin untuk masuk, maka kaum wanita itu segera berdiri dan bersembunyi dibalik tirai (hijab). Kemudian Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mempersilahkan Umar masuk sambil tersenyum-senyum, Umar berkata, “Apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “Hai Umar, sebenarnya aku sendiri merasa heran dengan kaum wanita yang berada bersamaku tadi. Karena, ketika mereka mendengar suaramu, mereka segera bersembunyi.” Umar berkata, “Sebenarnya engkaulah yang lebih berhak mereka segani.” Kemudia Umar menoleh ke tabir tempat para wanita itu bersembunyi dan berkata, “Hai orang-orang yang menjadi musuhnya sendiri, apakah kalian merasa segan kepadaku dan tidak segan kepada Rasulullah?” Kaum wanita Quraisy itu pun menjawab, “Ya, karena engkau lebih keras dari Rasulullah!” Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sungguh tak ada setan yang berpapasan denganmu di suatu jalan wahai Umar, melainkan setan tersebut akan beroaling ke jalan lain untuk menghindar dari jalanmu.”
Karakter keras yang dimiliki oleh sososk Umar serta ketegasannya dalam berpendapat tidaklah sampai kelewat batas atau melanggar kebenaran seujung jaripun, akan tetapi dia akan segera berhenti dari keinginannya.”
Bilal bin Rabah pernah bertanya pada Aslam, pembantu Umar, “Bagaiman pendapat kalian tentang Umar?” Jawab Aslam, “Dia sebaik-baik manusia, kecuali jika dia marah, menjadi masalah besar!” Bilal pun berkata, “Jika saya sedang berada di dekatnya saat dia marah, saya bacakan Al-Qur’an sampai marahnya redah.”
Malikud-Dar, pembantu Umar yang lain mengatakan, “Suatu hari Umar membentak saya dan memukul saya dengan cambuk, saya katakan padanya, “Saya ingatkan engkau dengan Allah!” Umar langsung melemparkan cambuknya dan berkata, “Sungguh engkau telah mengingatkanku dengan sesuatu yang besar.”
4. Keilmuan Umar dan hadits yang diriwayatkannya serta orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya
Umar diberi oleh Allah kepintaran yang luar biasa. Dia merupakan salah satu ulama besar di kalangan shahabat. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam sempat memuji nikmat yang diberikan oleh Allah pada Umar ini dan mengingatkan para shahabat tentang nikmat tersebut agar mereka menyerapnya dari Umar. Beliau bersabda, “Ketika tidur, saya bermimpi diberi segelas susu. Saya pun meminumnya hingga saya merasakan kesegaran sampai ke ujung kuku. Kemudian sisa susu tersebut kepada Umar bin Khaththab.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa takwil mimpi tersebut?” Jawab Rasulullah, “Itu tentang ilmu.”
Umar selalu berusaha untuk dapat hadir dalam majlis ilmu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Tidak satupun yang luput darinya. Umar menceritakan hal tersebut, “Dulu saya dan tetangga saya dari kaum Anshar tinggal di komplek Bani Umayyah bin Zaid, di pinggir kota Madinah. Kami bergantian dalam menghadiri majlis ilmu Rasulullah. Sehari dia yang hadir, sehari kemudian saya yang hadir. Jika saya yang hadir, saya akan menyampaikan kepadanya. Jika dia yang hadir, dia pun melakukan hal yang sama.”
Abdullah bin Mas’ud menggambarkan betapa tingginya tingkat keilmuan Umar pada hari wafatnya Umar. Dia berkata, “Seandainya ilmu Umar diletakkan di satu sisi timbangan dan sisi lainnya diisi dengan ilmu semua orang di muka bumi ini, pasti ilmu Umar lebih berat dari ilmu mereka. Menurut mereka Umar memperoleh sembilan dari sepuluh ilmu. Aku lebih percaya pada majelis yang kuhadiri bersama Umar daripada pekerjaan yang kulakukan selam setahun.”
Hudzaifah bin Yaman mengatakan, “Seakan-akan ilmu seorang itu menyelinap ke dalam hati Umar.”
Di antara shahabat yang meriwayatkan ilmu darinya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, putranya Abdullah bin Umar, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Amr bin Ash, Ibnu Abbas, Muawiyah bin Abi Sufyan, Adi bin Hatim, Zaid bin Tsabit, Ibnu Zubair, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah, Ummul mukminin Aisyah, putrinya Hafshah, dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin tak terbilang banyaknya.
5. Termasuk Ahli Surga
Cukup banyak kabar gembira yang tercantum dalam berbagai hadits shahih yang menyatakan bahwa Umar merupakan salah satu shahabat yang memperoleh jaminan surga.
Pada suatu hari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam sedang duduk berbincang bersama para shahabatnya, beliau pun bersabda, “Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi bahwa saya sedang berada di surga. Tiba-tiba ada seorang perempuan berwudlu di samping sebuah istana. Saya bertanya padanya, “Istana siapa ini? Dia menjawab, “Milik Umar.” Lantas saya teringat akan sifat cemburu Umar, saya pun segera pergi dari sana.” Umar yang saat itu berada bersama Rasulullah menangis. Kemudian dia berkata, “Bagaimana mungkin saya cemburu kepada engkau wahai Rasulullah.”
Abu Musa Al-Asy’ari meriwayatkan, “Waktu saya sedang bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam di sebuah kebun di Madinah, tiba-tiba datang seseorang meminta dibukakan pintu. Maka Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu membukakan pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Abu Bakar. Saya pun menyampaikan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Abu Bakar langsung mengucap hamdalah. Tak lama kemudian datang lagi seseorang yang meminta dibukakan pintu. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu membukakan pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Umar. Saya pun menyampaikan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Umar langsung mengucapkan hamdalah.”
Sementar Ali bin Abi Thalib meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, “Dua orang ini merupakan pemuka orang-orang dewasa di kalangan ahli surga dari generasi pertama sampai terakhir, kecuali para Nabi dan Rasul. Jangan kau beritahu mereka wahai Ali.”
6. Kedudukannya di mata Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan para sahabat
Di mata Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan para shahabatnya, Umar menempati posisi kedua setelah Abu Bakar Radiyallahu ‘Anhuma.
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Saya tidak tahu sampai kapan saya bersama kalian, Maka ikutilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar.”
Bahkan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah menjelaskan kedudukan Umar di sisinya dan di sisi umat Islam. Beliau amat meninggikan kedudukannya dari yang lalu-lalu ketika berkata, “Seandainya ada Nabi setelahku, pasti yang diangkat menjadi Nabi adalah Umar bin Khaththab!”
Di samping itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sering mengatakan, “Waktu itu saya, Abu Bakar, dan Umar..”, “Saya, Abu Bakar, dan Umar melakukan…”, “Saya, Abu Bakar, dan Umar berangkat…” atau “Saya, Abu Bakar, dan Umar mengimani hal itu.”
Karena itu, Umar seolah-olah menempati posisi sebagai menteri kedua bagi Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam setelah Abu bakar. Kedua tokoh itu ibarat pendengaran dan penglihatan Nabi.
Para shahabat pun menempatkan Umar pada posisi tersebut. Mereka menghormati Umar sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menghormatinya. Mereka mempersilakan Umar menjadi imam shalat ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sedang sakit sementar Abu bakar tidak berada di masjid. Karena mereka tahu bahwa Umar adalah yang paling pantas di antara semua yang hadir waktu itu.
Bahkan Abu Bakar pernah mengumumkan pada semua orang, “Tidak ada orang yang paling saya cintai di muka bumi ini selain umar.”
Abdullah bin Umar mengatakan, “Dulu kami pada zaman Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak melihat ada yang menyamai Abu bakar, kemudia Umar, kemudian Utsman. Setelah itu kami tidak mencoba membanding-bandingkan para shahabat Rasulullah yang lain.”
Sumber : http://sahabatnabi.com/biografi-sahabat-nabi-umar-bin-khaththab-ketegasan-keimanan-dan-ketakwaan-umar/
Wednesday, July 2, 2014
Kisah Shabat Nabi Umar Bin Khatab
Unknown
7:19 AM
0 komentar :